Sabtu, 31 Desember 2016

MAKALAH STRUKTUR DAN CABANG HADIS








Struktur Hadis Dan Cabang-Cabang Ilmu Hadis






DI SUSUN OLEH
FARHATUNNISAH
MUHAMAD IKBAL
REKA ARMELIA

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
FALKULTAS TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM

2016
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang struktur dan cabang-cabang ilmu hadis.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
  
                                                                                    




Mataram,   April 2016
  
                                                              
                                               Penyusun


DAFTAR ISI
Cover
Kata Pengantar..............................................................................................
i
Daftar Isi......................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang..................................................................................
1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................
1
C.     Tujuan..............................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian ilmu hadis.......................................................................
2
B.     Struktur Ilmu Hadis.........................................................................
3
C.     Cabang-cabang Ilmu hadis...............................................................
7
BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan.......................................................................................
15
B.     Saran.................................................................................................
15
Daftar Pustaka..............................................................................................
16

 BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan / mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad saw.
Menurut istilah ulama ahli hadits hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (taqrir), sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bi'tsah) dan terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad saw yang dijadikan ketetapan ataupun hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut adalah kata benda.
Secara struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad / isnad (rantai penutur), matan (redaksi) dan Mukharrij (perowi). Menurut para ahli banyak cabang-cabang ilmu hadis diantaranya akan dijelaskan pada makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ilmu hadis?
2.      Bagaimana struktur hadis?
3.      Apa saja cabang-cabang ilmu hadis?
C.       Tujuan
1.      Mengetahui apa itu ilmu hadis
2.      Untuk mengetahui struktur hadis
3.      Untuk mengetahui cabang-cabang ilmu hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Ilmu Hadist
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: 'ulumul al-hadist). 'ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu 'ulum dan Al-hadist. Kata 'ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, jadi berarti "ilmu-ilmu"; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti "segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat." dengan demikian, gabungan kata 'ulumul-hadist mengandung pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi sholallahu 'alaihi wasallam".
       Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.
       Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang ada dalam ilmu hadits ada Dua (2). Pertama berkaitan dengan sanad, kedua berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah para periwayat hadits yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan denga matan akan membantu kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits bertentangan dengan dalil lain atau tidak.[1]
B.       Struktur Hadis
Hadits Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan Mukharrij (perowi). Sehingga,  ketiga struktur tersebut bisa dikatakan sebagai tiga unsur (komponen) pokok yang terkandung didalamnya.
1.      Sanad
        Sanad dari segi bahasa artinya (sandaran, tempat yang bersandar, yang menjadi sandaran) Sedangkan menurut istilah ahli hadits, sanad yaitu Jalan yang menyampaikan matan hadits yakni rangkaian para perowi yang memindahkan matan dari premernya. Jalur ini adakalanya yang disebut dengan Sanad, adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan matan kepada sumbernya, dan ada kalanya karena hafidz bertumpu pada “yang menyebutkan sanad” dalam mengetahui shohih dan dhoif nya suatu hadits. ( silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan hadits).
         Silsilah orang yang dimaksud adalah susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadits tersebut, sejak yang disebut pertama sampai kepada Rosululloh SAW. yang perkata’an dan perbuatan, dan lainya merupakan sanad atau matan hadits. Dengan pengetian tersebut, sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian orang, bukan dilihat dari sudut pribadi secara perseorangan.Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur atau perowi (periwayat) hadist.
Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه قرأ فى المغرب الطور. (رواه البخاري)
Artinya:
memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR. Al-Bukhori)[2]
Contoh lain yaitu:
“Musaddad mengabari bahwa yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari Qatdah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:”
Sanad mengandung dua bagian penting, yakni:
a.       Nama-nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan.
b.      Lambang-lambang periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits yang bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani, ‘an, dan anna[3]
2.       Matan Hadis
       Matan menurut lughat, ialah: tengah jalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi.
Menurut istilah, ialah:
اﻟﻓﺎ ظ اﻟﺤﺪ ﻴﺚ اﻟﺘﻰ ﺘﺘﻗﻮ ﻢ ﺒﻬﺎاﻟﻤﻌﺎ ﻨﻰ
Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”[4]
          Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع وصلب من الارض yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli dibidangnya, diantaranya:
a.       Menurut Muhammad At Tahhan
ما ينتهى اليه السند من الكلام
suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”
b.      Menurut Ath Thibbi
الفاظ الحديث التى تتقوم بها معاني
lafadz hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”
         Jadi pada dasarnya matan itu ialah berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,
a.       Contoh matan
عن أم المؤمنين عا ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد. (رواه متفق عليه)
warta dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda: barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
         Dari contoh hadist diatas yang dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد “barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku), maka ia tertolak”.[5]
b.      Kedudukan sanad hadits
Para ahli hadits sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila mereka mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya. Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak ada persyaratan apapun untuk diterima periwayatanya. Akan tetapi merekapun sangat berhati-hati dalam menrima hadits.
Pada masa khalifah Abu Bakar r.a dan Umar r.a periwayatan hadits diawasi secara ketat dan hati-hati, dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenaranya oleh seorang yang lain. Ali bin Abu Tholib tidak menerima hadits sebelum yang meriwayatkanya disumpah.
Meminta aksi kepada seorang perowi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan jalan untuk menerima hati dalam menerima yang isi yang di beritakan itu. Jika dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perowi, merekapun menerima periwayatanya.
Adapun meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum diterima atau tidaknya periwayatan hadits. Yang diperlukan dalam menerima hadits adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu tentang periwayatanya, maka perlu didatangkan sakksi/keterangan.
Kedudukan sanad dalam hadits sangat penting karena hadits diperoleh/atau di diriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayataan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima dan di tolak dan mana hadits yang shohih atau tidak, untuk diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia  untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa riwayat dan atsar yang menerangkan keutama’an sanad.[6]
3.       Mukharrij (rawi)
             Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
             Di dalam suatu hadis biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
           Seperti pada contoh hadis yang pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
          Apabila kita mengutip matan hadits, dari kita tertentu, misalnya kitab shohih al-bukhori, kemudian kita mencari matan hadits yang sama di kitab yang lain (misalnya shohih muslim) dengan sanad yang berbeda, tetapi juga bertemu dengan sanad al-bukhori,maka pekerjaan yang demikian ini disebut istikhraj, atau takhrij. Sedang orang yang melakukan kegiatan tersebut juga dinamakan mukharij tersebut dihimpun dalam satu kitab, maka kitab yang demikian itu dinamakan kitab mustakhraj. Contohnya adalah kitab mustakhraj Abu Nu’aim, yaitu kitab mustakhraj hadits untuk hadits-hadits yang dimuat dalam kitab shahih al-Bukhori.[7]
C.      Cabang-Cabang Ilmu Hadits
Menurut Dr. Mustofa As-Siba’i bahwa terdapat disiplin ilmu yang lain dalam kajian tentang sunnah beserta penuturannya, pembelaannya, dan penelitian pangkall dan sumbernya. Abu ‘Abdullah Al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifatul ‘Ulum Al-Hadits, merinci disiplin ini menjadi lima puluh dua bagian, dan al-Nawawi dalam kitabnya al-Taqrib, merincinya menjadi enam puluh lima bagian.[8]
Menurut Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits
Menurut kata sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya, dan yang sepertinya.
Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Haditsu wal Muhadditsun, memberikan definisi Ilmu Ushulur Riwayah atau Ilmu Riwayatul Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya, dan keadaan perawi-perawinya dan syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan hal-hal yang berhubungan dengan itu.[9]
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak. Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dalam penjelasannya, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:
a.       hakikat periwayatan adalah menyampaikan berita dan menyandarkannya kepada orang yang menjadi sumber berita itu.
b.      Syarat-syarat periwayatan adalah syarat-syarat perawi di dalam menerima hal-hal yang diriwayatkan oleh gurunya, apakah dengan jalan mendengar langsung atau dengan jalan ijazah, atau lainnya.
c.       Macam-macam periwayatan, apakah sanadnya itu bersambung-sambung atau putus dan sebagainya.
d.      Hukum-hukumnya, artinya diterima atau ditolaknya apa yang diriwayatkannya itu.
e.       Keadaan perawi dan syarat-syaratnya, yaitu adil tidaknya dan syarat-syarat menjadi perawi baik tatkala menerima hadits maupun menyampaikan hadits.
f.       Macam-macam yang diriwayatkan, ialah apakah yang diriwayatkannya itu berupa hadits Nabi, atsar atau yang lain.
g.      Hal-hal yang berhubungan dengan itu, ialah istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits.
        Pemindahan hadits berdasarkan sanadnya kepada orang yang dinisbahkan dilakukan secara riwayat atau khabar dan selainnya.
Syarat-syaratnya memindahkan hadits berdasarkan sanad adalah sebagi berikut: Perawi menerima apa yang diriwayatkan kepadanya melalui salah satu dari cara meriwayatkan Hadis sama melalui pendengaran, pembentangan, ijazah atau sebagainya.
Bagian-bagiannya: Ittisal (bersambung) serta Ingqita' (terputus) dan sebagainya.
2.      Ilmu Riwayatul Hadits
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam. Faidahnya : menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya[10]
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits, melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
   Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:[11]
1.      Ilmu Rijalul Hadits
       Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
        Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadits.[12]
             Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung(muttashil) atau tidaknya sanad suatu hadis. Maksud persambungan sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak, atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashil-nya sanad ini nanti dijadikan slah satu syarat keshahihan suatu hadis dari segi sanad.[13]
2.      Ilmu Jarhi wat Ta’dil
       Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat kata-kata itu.
       Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.[14]
      Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat) seorang perawi hadis. Jika sifatnya adil dan dhabith maka hadisnya dapat diterima sebagai hadis yang shohih dan jika cacat, tidak ada keadilan atau ke-dhabitha-an maka hadisnya tertolak[15]
3.      Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
4.      Ilmu ‘Ilalil Hadits
Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits.
Yakni: menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan hadits.
Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih.[16]
Tujuan mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat hadis  yang terdapat ‘illat dalam periwayatannya, dalam bentuk apa dan dimana’illat tersebut terjadi, dan padasanad atau pada matan.[17]
5.      Ilmu Ghoribil Hadits
       Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.[18]
       Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui mana kata-kata dalam hadis yang tergolong gharib dan bagaimana metode para ulama memberikan interpratasi kalimat ghorib dalam hadis tersebut. Apakah melalui perbandingan beberapa sanad dalam hadis yang sama atau melalui jalan lain.[19]
6.      Ilmu Nasikh wal Mansukh
      Adalah ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya. Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.[20]
       Tujuan mempelajari ilmu ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari hadis dalam bentuk nasikh wal mansukh dan mengapa terjadi nasikh wal mansukh[21]
7.      Ilmu Talfiqil hadits
        Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
8.      Ilmu Tashif wat Tahrif
         Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).[22]
       Tujuan mengetahui ilmu ini adalah untuk mengetahui kata-kat atau nama-nama yang salah dalam sanad atau matan hadist dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengrtahui derajat kualiatas kecerdasan dan kedhabith-an seorang perawi[23]
9.      Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
       Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
       Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.[24]
        Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
10.  Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
       Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
        Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[25]















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: 'ulumul al-hadist). 'ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu 'ulum dan Al-hadist. Kata 'ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, jadi berarti "ilmu-ilmu"; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti "segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat." dengan demikian, gabungan kata 'ulumul-hadist mengandung pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi sholallahu 'alaihi wasallam".
Hadits Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan Mukharrij (perowi). Sehingga,  ketiga struktur tersebut bisa dikatakan sebagai tiga unsur (komponen) pokok yang terkandung didalamnya.
Menurut Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi menjadi 2, yaitu: Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu Musthalah Hadits dan Ilmu Riwayatul Hadits.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah: Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu Jarhi wat Ta’dil, Ilmu Fannil Mubhammat, Ilmu ‘Ilalil Hadits, Ilmu Ghoribil Hadits, Ilmu Nasikh wal Mansukh, Ilmu Talfiqil hadits, Ilmu Tashif wat Tahrif, Ilmu Asbabi Wurudil Hadits, Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits.
B.       Saran
      Jika ingin membuat makalah seperti ini diharapkan untuk mengkonsul secara continuou kepada dosen pembimbing ataupun dosen-dosen lain. Agar hasil makalah yang dibuat lebih bagus dan layak untuk di baca ataupun dipelajari

DAFTAR PUSTAKA
Al-Khaththan, Syaikh Manna’.2005.Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka Al
        Kautsar.hal.73
Al-Qaththan……….
Al-Siba’i.Musthafa.1993.Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum
        Islam.Jakarta:Pustaka Firdaus hal.84
Ash-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi.2005.Sejarah dan Pengantar Ilmu
       Hadits.Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.hal.131
Assa’idi,Sa’adullah.1996.Hadis-hadis Sekte.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal.11
Dr.H.Abdul Majid khon, m.Ag. Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah
M. hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid
       Pertama,(Jakarta: Bulan   Bintang,1987) hal 44
M.Nawawi,Pengantar Studi Hadith (Surabaya: Kopertais IV Press,2010), 17
Muh, Anwar.1981.Ilmu Mushthalah Hadits.Surabaya: Al-Ikhlas hal.2
Saeful hadi, Ulumul Hadits,(Yogyakarta:  SABDA MEDIA,2000), hal 1
 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,
       1992) hal. 25.
Zuhri. 2005.Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta. PT: Tiara
      Wacana Yogya. Hal:143-144



[1] Assa’idi,Sa’adullah.1996.Hadis-hadis Sekte.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal.11
[2] M.Nawawi,Pengantar Studi Hadith (Surabaya: Kopertais IV Press,2010), 17
[3] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hal. 25.
[4] M. hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta: Bulan
       Bintang,1987) hal 44
[5]opcite.,Pengantar Studi Hadith.hal.17
[6] Saeful hadi, Ulumul Hadits,(Yogyakarta:  SABDA MEDIA,2000), hal 1
[7] Opcite.,Pengantar Studi Hadith . hal 24
[8] Al-Siba’i.Musthafa.1993.Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam.Jakarta:
          Pustaka Firdaus hal.84
[9] Muh, Anwar.1981.Ilmu Mushthalah Hadits.Surabaya: Al-Ikhlas hal.2
[10] Al-Khaththan, Syaikh Manna’.2005.Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.hal.73
[11] Ash-Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi.2005.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits.Semarang:
         PT. Pustaka Rizki Putra.hal.131
[12] Al-Qaththan……….hal.99
[13] Dr.H.Abdul Majid khon, m.Ag. Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 94
[14] Opcite., AL-Qaththan……….hal.100
[15] Opcite., Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 95
[16] Opcite., Al-Qaththan……….hal.99
[17] Opcite., Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 96
[18] Ibid., Al-Qaththan……….hal.100
[19] Ibid., Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 96
[20] Opcite., Al-Qaththan……….hal.101
[21] Opcite., Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 99
[22] Ibid., Al-Qaththan……….hal.101
[23] Ibid., Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 101
[24] Zuhri. 2005.Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta. PT: Tiara Wacana Yogya. Hal:143-144
[25] Opcite., Al-Qaththan…………hal.103

0 komentar:

Posting Komentar