|
Struktur Hadis Dan
Cabang-Cabang Ilmu Hadis
DI SUSUN OLEH
FARHATUNNISAH
MUHAMAD IKBAL
REKA ARMELIA
PROGRAM
STUDI TADRIS MATEMATIKA
FALKULTAS
TARBIAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUS
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
2016
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang struktur dan cabang-cabang ilmu hadis.
Makalah
ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir
kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Mataram, April 2016
Penyusun
DAFTAR
ISI
Cover
Kata Pengantar..............................................................................................
|
i
|
Daftar Isi......................................................................................................
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
|
A.
Latar Belakang..................................................................................
|
1
|
B.
Rumusan
Masalah.............................................................................
|
1
|
C.
Tujuan..............................................................................................
|
1
|
BAB II PEMBAHASAN
|
|
A.
Pengertian ilmu
hadis.......................................................................
|
2
|
B.
Struktur Ilmu
Hadis.........................................................................
|
3
|
C.
Cabang-cabang Ilmu hadis...............................................................
|
7
|
BAB III PENUTUP
|
|
A.
Kesimpulan.......................................................................................
|
15
|
B.
Saran.................................................................................................
|
15
|
Daftar
Pustaka..............................................................................................
|
16
|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hadits
secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam
istilah hadits berarti melaporkan / mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku
dari Nabi Muhammad saw.
Menurut
istilah ulama ahli hadits hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya (taqrir), sifat jasmani
atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (bi'tsah) dan
terkadang juga sebelumnya. Sehingga, arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
Kata
hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka
pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan
maupun persetujuan dari Nabi Muhammad saw yang dijadikan ketetapan ataupun
hukum. Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif, maka kata tersebut
adalah kata benda.
Secara
struktur hadits terdiri atas tiga komponen utama yakni sanad / isnad (rantai
penutur), matan (redaksi) dan Mukharrij (perowi). Menurut para ahli banyak
cabang-cabang ilmu hadis diantaranya akan dijelaskan pada makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian ilmu hadis?
2. Bagaimana
struktur hadis?
3. Apa
saja cabang-cabang ilmu hadis?
C. Tujuan
1. Mengetahui
apa itu ilmu hadis
2. Untuk
mengetahui struktur hadis
3. Untuk
mengetahui cabang-cabang ilmu hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ilmu Hadist
Ulumul
Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
'ulumul al-hadist). 'ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu 'ulum dan Al-hadist.
Kata 'ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, jadi berarti
"ilmu-ilmu"; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti
"segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan,
perkataan, taqir, atau sifat." dengan demikian, gabungan kata
'ulumul-hadist mengandung pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadis nabi sholallahu 'alaihi wasallam".
Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas
kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau
ditolak. Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu hadits, yakni illmu
yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya.
Sebagai diketahui, banyak istilah untuk
menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat
Islam. Ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing
memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan
dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada
pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri. Maka persoalan yang
ada dalam ilmu hadits ada Dua (2). Pertama berkaitan dengan sanad, kedua
berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad akan mengantar kita
menelusuri apakah sebuah hadits itu bersambung sanadnya atau tidak, dan apakah
para periwayat hadits yang dicantumkan di dalam sanad hadits itu orang-orang
terpercaya atau tidak. Adapun ilmu yang berkaitan denga matan akan membantu
kita mempersoalkan dan akhirnya mengetahui apakah informasi yang terkandung di
dalamnya berasal dari Nabi atau tidak. Misalnya, apakah kandungan hadits
bertentangan dengan dalil lain atau tidak.[1]
B.
Struktur
Hadis
Hadits
Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan Mukharrij (perowi). Sehingga, ketiga struktur tersebut bisa dikatakan
sebagai tiga unsur (komponen) pokok yang terkandung didalamnya.
1. Sanad
Sanad dari segi bahasa artinya
(sandaran, tempat yang bersandar, yang menjadi sandaran) Sedangkan menurut
istilah ahli hadits, sanad yaitu Jalan yang menyampaikan matan hadits yakni
rangkaian para perowi yang memindahkan matan dari premernya. Jalur ini
adakalanya yang disebut dengan Sanad, adakalanya karena periwayat bersandar
kepadanya dalam menisbatkan matan kepada sumbernya, dan ada kalanya karena
hafidz bertumpu pada “yang menyebutkan sanad” dalam mengetahui shohih dan dhoif
nya suatu hadits. ( silsilah orang-orang yang menghubungkan kepada matan
hadits).
Silsilah orang yang dimaksud adalah
susunan atau rangkaian orang-orang yang menyampaikan materi hadits tersebut,
sejak yang disebut pertama sampai kepada Rosululloh SAW. yang perkata’an dan
perbuatan, dan lainya merupakan sanad atau matan hadits. Dengan pengetian
tersebut, sebutan sanad hanya berlaku pada rangkaian orang, bukan dilihat dari
sudut pribadi secara perseorangan.Dengan demikian, sanad adalah rantai penutur
atau perowi (periwayat) hadist.
Contoh Sanad
حدثنا عبد الله بن يوسف قا
ل أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى
الله عليه قرأ فى المغرب الطور. (رواه البخاري)
Artinya:
“memberitakan
kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata; memberitakan kepada kami Malik dari
Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya berkata: “aku
mendengar Rasulallah SAW membaca surah Ath-Thur pada salat maghrib.” (HR.
Al-Bukhori)[2]
Contoh lain yaitu:
“Musaddad mengabari
bahwa yahya sebagaimana diberitakan oleh Syu’bah dari Qatdah dari Anas dari
Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:”
Sanad
mengandung dua bagian penting, yakni:
a. Nama-nama
periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadits yang bersangkutan.
b. Lambang-lambang
periwayatan hadits yang telah digunakan oleh masing-masing periwayat dalam
meriwayatkan hadits yang bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani, ‘an, dan
anna[3]
2. Matan Hadis
Matan menurut lughat, ialah: tengah
jalan, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi.
Menurut istilah, ialah:
اﻟﻓﺎ ظ اﻟﺤﺪ ﻴﺚ اﻟﺘﻰ
ﺘﺘﻗﻮ ﻢ ﺒﻬﺎاﻟﻤﻌﺎ ﻨﻰ
“
Lafad-lafad hadits yang dengan lafad-lafad itulah terbentuk makna”[4]
Kata matan menurut bahasa berarti ما ارتفع
وصلب من الارض yang berarti tanah yang tinggi dan keras,namun ada pula yang
mengartikan kata matan dengan arti kekerasan, kekuatan, kesangatan. sedangkan
arti matan menurut istilah ada banyak pendapat yang dikemukakan para ahli
dibidangnya, diantaranya:
a. Menurut
Muhammad At Tahhan
ما ينتهى اليه السند
من الكلام
“suatu
kalimat tempat berakhirnya sanad”
b. Menurut
Ath Thibbi
الفاظ الحديث التى
تتقوم بها معاني
“lafadz
hadis yang dengan lafadz itu terbentuk makna”
Jadi pada dasarnya matan itu ialah
berupa isi pokok dari sebuah hadis, baik itu berupa perkataan Nabi atau
perkataan seorang sahabat tentang Nabi. Posisi matan dalam sebuah hadis amatlah
penting karna dari matan hadis tersebutlah adanya berita dari Nabi atau berita
dari sahabat tentang Nabi baik itu tentang syariat atau pun yang lainnya,
a. Contoh
matan
عن أم المؤمنين عا
ئشة رضى الله عنها قالت : قال رسول الله , من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد.
(رواه متفق عليه)
“warta
dari Ummu Al Mukminin, ‘Aisyah ra., ujarnya: ‘Rasulullah SAW telah bersabda:
barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan
(agamaku), maka ia tertolak’. ” (Hr. Bukhori dan Muslim)
Dari contoh hadist diatas yang
dimaksud dengan matan hadis ialah lafadz yang dimulai dengan من أحدث hingga
lafadz فهو رد atau dengan kata lain yang dimaksud dengan bagian matan dari
contoh hadis di atas ialah lafadz من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“barang siapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang bukan termasuk dalam urusan (agamaku),
maka ia tertolak”.[5]
b. Kedudukan
sanad hadits
Para
ahli hadits sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits kecuali apabila
mereka mengenal dari siapa mereka menerima setelah benar-benar dapat dipercaya.
Pada umumnya riwayat dari golongan sahabat tidak ada persyaratan apapun untuk
diterima periwayatanya. Akan tetapi merekapun sangat berhati-hati dalam menrima
hadits.
Pada
masa khalifah Abu Bakar r.a dan Umar r.a periwayatan hadits diawasi secara
ketat dan hati-hati, dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenaranya
oleh seorang yang lain. Ali bin Abu Tholib tidak menerima hadits sebelum yang
meriwayatkanya disumpah.
Meminta
aksi kepada seorang perowi, bukanlah merupakan keharusan dan hanya merupakan
jalan untuk menerima hati dalam menerima yang isi yang di beritakan itu. Jika
dirasa tak perlu meminta saksi atau sumpah para perowi, merekapun menerima
periwayatanya.
Adapun
meminta seseorang saksi atau menyeluruh perawi untuk bersumpah untuk
membenarkan riwayatnya, tidak dipandang sebagai suatu undang-undang umum
diterima atau tidaknya periwayatan hadits. Yang diperlukan dalam menerima
hadits adalah adanya kepercayaan penuh kepada perawi. Jika sewaktu-waktu ragu
tentang periwayatanya, maka perlu didatangkan sakksi/keterangan.
Kedudukan
sanad dalam hadits sangat penting karena hadits diperoleh/atau di
diriwayatkannya. Dengan sanad, suatu periwayataan hadits dapat diketahui mana
yang dapat diterima dan di tolak dan mana hadits yang shohih atau tidak, untuk
diamalkan. Sanad merupakan jalan yang mulia
untuk menetapkan hukum-hukum islam. Ada beberapa riwayat dan atsar yang
menerangkan keutama’an sanad.[6]
3. Mukharrij (rawi)
Kata Mukharrij merupakan bentuk
Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang
dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan
menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau
menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya
dari seseorang (gurunya).
Di dalam suatu hadis biasanya
disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadis
tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau
dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
Seperti pada contoh hadis yang
pertama, pada bagian paling akhir hadis tersebut disebutkan nama Al-Bukhari (رواه
البخاري) yang menunjukkan bahwa beliaulah yang telah mengeluarkan hadis
tersebut dan termaktub dalam kitabnya yaitu Shahih Al-Bukhari. Begitu juga
dengan contoh hadis kedua yang telah mengeluarkan hadis tersebut ialah Imam
Al-Bukhari dan Imam Muslim.
Apabila kita mengutip matan hadits,
dari kita tertentu, misalnya kitab shohih al-bukhori, kemudian kita mencari
matan hadits yang sama di kitab yang lain (misalnya shohih muslim) dengan sanad
yang berbeda, tetapi juga bertemu dengan sanad al-bukhori,maka pekerjaan yang
demikian ini disebut istikhraj, atau takhrij. Sedang orang yang melakukan
kegiatan tersebut juga dinamakan mukharij tersebut dihimpun dalam satu kitab,
maka kitab yang demikian itu dinamakan kitab mustakhraj. Contohnya adalah kitab
mustakhraj Abu Nu’aim, yaitu kitab mustakhraj hadits untuk hadits-hadits yang
dimuat dalam kitab shahih al-Bukhori.[7]
C.
Cabang-Cabang
Ilmu Hadits
Menurut
Dr. Mustofa As-Siba’i bahwa terdapat disiplin ilmu yang lain dalam kajian
tentang sunnah beserta penuturannya, pembelaannya, dan penelitian pangkall dan
sumbernya. Abu ‘Abdullah Al-Hakim dalam kitabnya Ma’rifatul ‘Ulum Al-Hadits,
merinci disiplin ini menjadi lima puluh dua bagian, dan al-Nawawi dalam
kitabnya al-Taqrib, merincinya menjadi enam puluh lima bagian.[8]
Menurut
Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Ilmu
Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut juga dengan Ilmu
Musthalah Hadits
Menurut kata sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul
Hadits adalah ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada
Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai
kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan
bersambungnya, dan yang sepertinya.
Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya Al-Haditsu wal
Muhadditsun, memberikan definisi Ilmu Ushulur Riwayah atau Ilmu Riwayatul
Hadits adalah ilmu yang membahas tentang hakikat periwayatan, syarat-syaratnya,
macam-macamnya, hukum-hukumnya, dan keadaan perawi-perawinya dan
syarat-syaratnya, macam-macam yang diriwayatkan dan hal-hal yang berhubungan
dengan itu.[9]
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti
kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek
sanadnya, diteliti tentang ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka
menerima dan menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak.
Sedang dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya,
sehubungan dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.
Dalam penjelasannya, beliau mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan:
a. hakikat
periwayatan adalah menyampaikan berita dan menyandarkannya kepada orang yang
menjadi sumber berita itu.
b. Syarat-syarat
periwayatan adalah syarat-syarat perawi di dalam menerima hal-hal yang
diriwayatkan oleh gurunya, apakah dengan jalan mendengar langsung atau dengan
jalan ijazah, atau lainnya.
c. Macam-macam
periwayatan, apakah sanadnya itu bersambung-sambung atau putus dan sebagainya.
d. Hukum-hukumnya,
artinya diterima atau ditolaknya apa yang diriwayatkannya itu.
e. Keadaan
perawi dan syarat-syaratnya, yaitu adil tidaknya dan syarat-syarat menjadi
perawi baik tatkala menerima hadits maupun menyampaikan hadits.
f. Macam-macam
yang diriwayatkan, ialah apakah yang diriwayatkannya itu berupa hadits Nabi,
atsar atau yang lain.
g. Hal-hal
yang berhubungan dengan itu, ialah istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli
hadits.
Pemindahan hadits berdasarkan sanadnya kepada orang yang dinisbahkan
dilakukan secara riwayat atau khabar dan selainnya.
Syarat-syaratnya memindahkan hadits
berdasarkan sanad adalah sebagi berikut: Perawi menerima apa yang diriwayatkan
kepadanya melalui salah satu dari cara meriwayatkan Hadis sama melalui
pendengaran, pembentangan, ijazah atau sebagainya.
Bagian-bagiannya: Ittisal (bersambung)
serta Ingqita' (terputus) dan sebagainya.
2. Ilmu
Riwayatul Hadits
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala
penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan
ilmu riwayatul hadits: sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau,
dan sifat-sifat beliau dari segi periwayatannya secara detail dan mendalam.
Faidahnya : menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya[10]
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah
membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain dan
memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan
membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai
matan maupun sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk
menghindari adanya kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad
Saw. Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits,
melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi, atau
bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
Menurut Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,
Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah ialah:[11]
1. Ilmu
Rijalul Hadits
Ialah ilmu yang membahas para perawi
hadits, dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan
ilmu ini kita dapat mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadits dari
Rasulullah dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh
ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi
dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadits.[12]
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui
bersambung(muttashil) atau tidaknya sanad suatu hadis. Maksud persambungan
sanad adalah pertemuan langsung apakah perawi itu bertemu langsung dengan
gurunya atau pembawa berita ataukah tidak, atau hanya pengakuan saja. Semua itu
dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttashil-nya sanad ini nanti dijadikan slah
satu syarat keshahihan suatu hadis dari segi sanad.[13]
2. Ilmu
Jarhi wat Ta’dil
Ilmu yang menerangkan tentang hal
cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat kata-kata itu.
Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh
para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi
yang benar yang datang dari Nabi dan mana yang bukan.[14]
Tujuan ilmu ini untuk mengetahui sifat
atau nilai keadilan, kecacatan dan atau ke-dhabith-an (kekuatan daya ingat)
seorang perawi hadis. Jika sifatnya adil dan dhabith maka hadisnya dapat
diterima sebagai hadis yang shohih dan jika cacat, tidak ada keadilan atau
ke-dhabitha-an maka hadisnya tertolak[15]
3. Ilmu
Fannil Mubhammat
Ilmu
fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak
disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini,
Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh
An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi
yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan
selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah
Fathul Bari.
4. Ilmu
‘Ilalil Hadits
Adalah
ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat
merusakkan hadits.
Yakni:
menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke
dalam hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat
merusakkan hadits.
Ilmu
ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui
penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama, yang mempunyai pengetahuan yang
sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat
terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut
Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan
mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan
kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini.
Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya)
atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut
maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih.[16]
Tujuan
mempelajari ilmu ini adalah untuk mengetahui siapa diantara periwayat
hadis yang terdapat ‘illat dalam
periwayatannya, dalam bentuk apa dan dimana’illat tersebut terjadi, dan
padasanad atau pada matan.[17]
5. Ilmu
Ghoribil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu haddits ini
adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz
yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini
akan membantu dalam memahami hadits tersebut.[18]
Tujuan ilmu ini adalah untuk mengetahui
mana kata-kata dalam hadis yang tergolong gharib dan bagaimana metode para
ulama memberikan interpratasi kalimat ghorib dalam hadis tersebut. Apakah
melalui perbandingan beberapa sanad dalam hadis yang sama atau melalui jalan
lain.[19]
6. Ilmu
Nasikh wal Mansukh
Adalah ilmu yang menerangkan
hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan menasikhkannya. Apabila didapati
sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut
muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan
dengan tidak sukar maka hadits itu dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak
mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu
dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.[20]
Tujuan mempelajari ilmu
ini untuk mengetahui salah satu proses hukum yang dihasilkan dari hadis dalam
bentuk nasikh wal mansukh dan mengapa terjadi nasikh wal mansukh[21]
7. Ilmu
Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara
mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya
dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan
memandang banyak kali terjadi.
8. Ilmu
Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang
hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya
(dinamai muharraf).[22]
Tujuan mengetahui ilmu
ini adalah untuk mengetahui kata-kat atau nama-nama yang salah dalam sanad atau
matan hadist dan bagaimana sesungguhnya yang benar sehingga tidak terjadi
kesalahan terus menerus dalam penukilan dan mengrtahui derajat kualiatas
kecerdasan dan kedhabith-an seorang perawi[23]
9. Ilmu
Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang
sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi
Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits.
Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan
menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.[24]
Disamping itu, ilmu ini mempunyai
fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud
dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara
dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa
ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al-
Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal
dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan
Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
10. Ilmu
Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu
ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan
atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak
bertentangan dengan hadits lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan
“Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu
ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[25]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulumul
Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
'ulumul al-hadist). 'ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu 'ulum dan
Al-hadist. Kata 'ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari 'ilm, jadi
berarti "ilmu-ilmu"; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis
berarti "segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan,
perkataan, taqir, atau sifat." dengan demikian, gabungan kata
'ulumul-hadist mengandung pengertian "ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadis nabi sholallahu 'alaihi wasallam".
Hadits
Nabi yang lengkap dan jelas terdiri dari sanad, matan, dan Mukharrij (perowi).
Sehingga, ketiga struktur tersebut bisa
dikatakan sebagai tiga unsur (komponen) pokok yang terkandung didalamnya.
Menurut
Anwar dalam bukunya Ilmu Mushthalah Hadits, dijelaskan bahwa ilmu hadits dibagi
menjadi 2, yaitu: Ilmu Dirayatul Hadits, atau Ilmu Ushulur Riwayah dan disebut
juga dengan Ilmu Musthalah Hadits dan Ilmu Riwayatul Hadits.
Menurut
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu
Hadits Riwayah dan Dirayah ialah: Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu Jarhi wat Ta’dil,
Ilmu Fannil Mubhammat, Ilmu ‘Ilalil Hadits, Ilmu Ghoribil Hadits, Ilmu Nasikh
wal Mansukh, Ilmu Talfiqil hadits, Ilmu Tashif wat Tahrif, Ilmu Asbabi Wurudil
Hadits, Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits.
B. Saran
Jika ingin membuat makalah seperti ini
diharapkan untuk mengkonsul secara continuou kepada dosen pembimbing ataupun
dosen-dosen lain. Agar hasil makalah yang dibuat lebih bagus dan layak untuk di
baca ataupun dipelajari
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khaththan,
Syaikh Manna’.2005.Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka Al
Kautsar.hal.73
Al-Qaththan……….
Al-Siba’i.Musthafa.1993.Sunnah
dan Peranannya dalam Penetapan Hukum
Islam.Jakarta:Pustaka Firdaus hal.84
Ash-Shiddieqy,Tengku
Muhammad Hasbi.2005.Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits.Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra.hal.131
Assa’idi,Sa’adullah.1996.Hadis-hadis
Sekte.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.hal.11
Dr.H.Abdul Majid khon,
m.Ag. Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah
M. hasbi Ash Shiddieqy,
Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid
Pertama,(Jakarta: Bulan Bintang,1987) hal 44
M.Nawawi,Pengantar
Studi Hadith (Surabaya: Kopertais IV Press,2010), 17
Muh,
Anwar.1981.Ilmu Mushthalah Hadits.Surabaya: Al-Ikhlas hal.2
Saeful hadi, Ulumul
Hadits,(Yogyakarta: SABDA MEDIA,2000),
hal 1
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits
Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992) hal. 25.
Zuhri.
2005.Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta. PT: Tiara
Wacana Yogya. Hal:143-144
[1] Assa’idi,Sa’adullah.1996.Hadis-hadis Sekte.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.hal.11
[2] M.Nawawi,Pengantar Studi Hadith (Surabaya: Kopertais IV Press,2010), 17
[3] Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hal. 25.
[4] M. hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid
Pertama, (Jakarta: Bulan
Bintang,1987) hal 44
[6] Saeful hadi, Ulumul Hadits,(Yogyakarta:
SABDA MEDIA,2000), hal 1
[8] Al-Siba’i.Musthafa.1993.Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum
Islam.Jakarta:
Pustaka Firdaus hal.84
[9] Muh, Anwar.1981.Ilmu Mushthalah Hadits.Surabaya:
Al-Ikhlas hal.2
[10] Al-Khaththan, Syaikh Manna’.2005.Pengantar Ilmu Hadits.Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.hal.73
[11] Ash-Shiddieqy,Tengku Muhammad
Hasbi.2005.Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits.Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra.hal.131
[12] Al-Qaththan……….hal.99
[13] Dr.H.Abdul Majid khon, m.Ag. Edisis Kedua Ulumul Hadis. Amzah. Hal 94
[22] Ibid.,
Al-Qaththan……….hal.101
[24] Zuhri. 2005.Hadits Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta. PT: Tiara
Wacana Yogya. Hal:143-144
0 komentar:
Posting Komentar