MAKALAH
USHUL FIQH
SUMBER
& DALIL HUKUM YANG TIDAK DISEPAKATI:
“
’URF, SADD DZARI’AH, SYAR’U MAN QABLANA, MADZHAB SHAHABI ”
Dosen
Pengampu: Dr. Syamsul Arifin, M.A
Oleh:
Kelas
II C
Kelompok
7
1. Ni
Ummu Kulsum (1501030363)
2. Farhatunnisah (1501030391)
3. Irfan
Nasution (1501030382)
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
MATARAM
2016
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr…Wb…
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
" Sumber dan Dalil Hukum yang Tidak
Disepakati: Urf, Sadd Dzari’ah, Syar’u man Qablana, dan Madzhab Shahabi " untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw.
Penulis menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu kritik serta saran yang membangun senantiasa penyusun
harapkan guna perbaikan dimasa mendatang. Ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya penyusun ucapkan kepada semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah
ini bemanfaat bagi penulis khususnya dan yang membaca makalah ini.
Wassalamu’alaikum Wr…Wb
Mataram, 11 Maret 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR.......................................................................
i
DAFTAR ISI.....................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN..................................................................
1
A. Latar
Belakang.......................................................................
1
B. Rumusan
Masalah..................................................................
1
C. Tujuan.....................................................................................
2
BAB
II PEMBAHASAN...................................................................
3
A. Urf...........................................................................................
3
B. Sad
Dzari’ah...........................................................................
5
C. Syar’u
Man Qablana..............................................................
9
D. Madzhab
Shahabi................................................................
10
BAB
III PENUTUP.........................................................................
13
A. Kesimpulan...........................................................................
13
B. Kritik
dan Saran..................................................................
13
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Syari’at
Islam merupakan penutup semua risalah samawiyah yang membawa petunjuk dan
tuntunan Allah SWT. Untuk umat manusia dan dalam wujudnya yang lengkap. Oleh
karena itu Allah mewujudkan syari’at Islam sebagai syari’at yang abadi.
Hal
itu dibuktikan dengan adanya kaidah-kaidah hukum fiqh yang dapat memberikan
jawaban terhadap kebutuhan permasalahan maupun hajat yang berubah dari masa ke
masa seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu ditunjukkan dengan adanya dua
hal penting dalam hukum Islam, yaitu (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum
yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Dan (2) pembukaan jalan bagi para
mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara
shorikh dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka
sisi ra’yu adalah hal yang tidak bisa lepas darinya. Karena itu dalam hal ushul
fiqih sebuah ilmu ynag mengatur proses ijtihad, dikenallah beberapa landasan
penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan ra’yu para fuqaha.
Diantaranya adalah ‘Urf, Sadd Dzari’ah, Syar’u man Qablana dan Madzhab Shahabi
yang akan dibahas dan diuraikan dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan ‘urf, sadd dzari’ah, syar’u man qablana, dan madzhab shahabi?
2.
Bagaimana pembagian
dari ‘urf, sadd dzari’ah, syar’u man qablana, dan madzhab shahabi?
3.
Apa dasar hukum ‘urf
dan sadd dzari’ah?
4.
Bagaimana pendapat para
ulama tentang syar’u man qablana dan madzhab shahabi?
5.
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
pengertian dari dengan ‘urf, sadd dzari’ah, syar’u man qablana, dan madzhab
shahabi.
2.
Untuk mengetahui
pembagian ‘urf, sadd dzari’ah, syar’u man qablana, dan madzhab shahabi.
3.
Untuk mengetahui dasar
hukum ‘urf dan sadd dzari’ah.
4.
Untuk mengetahui
pendapat para ulama tentang syar’u man qablana dan madzhab shahabi.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Urf
1. Pengertian
‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi berarti
“sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal. Sedangkan secara
terminology, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti:
ما ألفه الجتمع و اعتاده وسار عليه في
حياته من قول أوفعل
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi
satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan
mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.”
Istilah ‘urf dalam pengertian
tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Contoh ‘urf
berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli
kebutuhan ringsn sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya
menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan Kabul (qabul).
Contoh ‘urf yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk
tidak menggunakan kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan.
2. Dasar
hukum ‘urf
Menurut hasil penelitian al-Tayyib
Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas al-Azhar Mesir dalam
karyanya al-ijtihad fi ma la nassa fiqh, bahwa madzhab yang dikenal banyak
menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan
Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan, antara lain:
a. Ayat
199 surah al-A’raf:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Kata
al-‘urfi dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya. Oleh
para ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yag baik dan telah menjadi
kebiasaan di masyarakat.
b. Pada dasarnya, syariat Islam dari
masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam
masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah
3. Macam-macam
‘urf
a. Ditinjau dari segi sifatnya, ‘urf
terbagi atas :
1) ‘Urf Qauliy, yaitu ‘urf yang berupa
perkataan, seperti perkataan “walad”, menurut bahasa berarti anak, termasuk di
dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari
biasanya diartikan dengan anak laki-laki saja.
2) ‘Urf ‘amali, yaitu ‘urf yang berupa
perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan
sighat akad jual beli. Padahal menurut syara’, shighat jual beli itu merupakan
salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan mayarakat
melakukan jual beli tanpa sighat dan tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, maka syara’ membolehkannya.
b. Ditinjau dari segi diterima atau
tidaknya, ‘urf dibagi atas :
1) ‘Urf shahih, yaitu ‘urf yang baik
dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan
pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah dipandang baik dan telah menjadi
kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
2) ‘Urf fasid, yaitu ‘urf yang tidak
baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’. Seperti
kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang
dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima karena berlawanan dengan ajaran
Islam.
c. Ditinjau dari segi ruang lingkup
berlakunya, ‘urf dibagi atas:
1) ‘Urf Aam, yaitu ‘urf yang berlaku
pada semua tempat masa dan keadaan. Seperti memberi hadiah (tips) kepada orang
yang telah memberikan jasa pada kita, mengucapkan terima kasih kepada seseorang
yang telah membantu kita.
2) ‘Urf Khas, yaitu ‘urf yang hanya
berlaku pada tempat, masa, atau keadaan tertentu saja.seperti mengadakan halal
bihalal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada
setiap selesai melaksanakan sholad idul fitri, sedang pada Negara-negara Islam
lain tidak dibiasakan
4. Kaidah-kaidah yang berhubungan
dengan ‘urf
Di antara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan
‘urf adalah :
a. اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai
hukum.
b. حُجَّةٌ يَجِبُ الْعَمَلُ
بِهَاالنَّاس اِسْتِعْمَالُ
Artinya: perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya
wajib beramal dengannya.
c. لاَيُنْكِرُتَغَيُّرُ الْأَحْكَامِ
بِتَغَيُّرِ الْأَزْمَانِ
Artinya: tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan
)dengan perubahan masa.
B. Sadd Dzari’ah
1. Pengertian Sadd Dzari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti
“menutup”, dan kata adz-dzari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu
tujuan”. Dengan demikian sadd dzari’ah secara bahasa berarti “menutup jalan
kepada suatu tujuan”. Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul
Karim Zaidan, sadd dzari’ah berarti:
أنه من باب منع الوسائل الموءديه آلى
المفاسد
Menutup jalan yang membawa kepada
kebinasaan atau kejahatan.
Sadd Dzari’ah diartikan sebagai
upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada
dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau
tindakan lain yang dilarang.
2. Dasar Hukum Sadd Dzari’ah
a. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan ” (QS. Al-An’âm: 108).
Mencaci berhala tidak dilarang Allah
SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala,
karena larangan ini dapat menutup pintu kea rah tindakan orang-orang musyrik
mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan “ (QS. An-Nur : 31).
Wanita menghentakkan kakinya
sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena
perbuatan itu akan menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat zina,
maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju
kearah perbuatan zina.
b. Sabda Nabi Muhammad SAW:
الا وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام
حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه
“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat
yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar
tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa
mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar
kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan
dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah
melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat tersebut.
3. Macam-Macam Sadd Dzari’ah
Para ahli ushul fiqh membagi al-dzari’ah menjadi 4 (empat)
kategori yaitu sebagai berikut:
a. Dzari’ah yang secara pasti dan
meyakinkan akan membawa kepada mafsadah. Misalnya, menggali sumur di tengah
jalan umum yang situasinya gelap. Terhadap dzari’ah semacam ini, para ahli
ushul fiqh telah bersepakat menetapkan keharamannya.
b. Dzari’ah yang berdasarkan dugaan
kuat akan membwa kepada mafsadah. Misalnya, menjual buah anggur kepada orang
atau perusahaan yang biasa memproduksi minuman keras. Terhadap dzari’ah semacam
ini, para ahli ushul fiqh juga telah bersepaka menetapkan keharamannya.
c. Dzari’ah yang jarang/kecil
kemungkinan membawa kepda mafsadah, seperti menanam dan membudidayakan tanaman
anggur. Terhadap dzari’ah semacam ini, para ahli ushul fiqh sepkat menetapkan
kebolehannya.
d. Dzari’ah yang berdasarkan asumsi
biasa (bukan dengan kuat) akan membawa kepada mafsadah. Misalnya, transaksi
jual beli secara kredit. Berdasarkan asumsi biasa, transaksi demikian akan
membawa kepada mafsadah, terutama bagi debitur. Mengenai dzari’ah semacam ini,
para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat perbuatan tersebut harus
dilarang atau menjadi haram atas dasar Sadd al-Dzari’ah; dan ada juga yang
berpendapat sebaliknya.
4. Kedudukan Sadd al-Dzari’ah
Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal menerima Sadd
al-Dzari’ah sebagai hujjah syar’iyyah. Sedangkan al-Syafi’I dan Abu Hanifah
menerima Sadd al-Dzari’ah sebagai hujjah syar’iyyah untuk kasus-kasus tertentu
dan menolaknya untuk kasus-kasus lain. Golongan ulama Zahiriyyah, terutama Ibnu
Hazm, menolak sam sekali Sadd al-Dzari’ah; artinya ia bukanlah hujjah
syar’iyyah.
Secara global, sikap pandang para ulama terhadap posisi Sadd
al-Dzari’ah dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kubu, yaitu kubu penerima (pro) dan
kubu penolak (kontra). Adapun kubu penerima (pro) mengemukakan argumentasi
sebagai berikut:
a. Dalam surah al-Baqarah (2):104 dinyatakan
bahwa orang mukmin dilarang mengucapkan kata “ra’ina” – suatu ucapan yang biasa
digunakan orang Yahudi untuk mencela/mengejek Nabi SAW. Larangan ini didasarkan
atas keyakinan bahwa pengucapan kata itu akan membawa kepada mafsadah. Pesan
ini mengisyaratkan urgensi Sadd al-Dzari’ah.
b. Dalam surah al-A’raf (7):163
dinyatakan bahwa kaum Bani Israil dilarang mendekati dan mengambil ikan-ikan
yang terapung di permukaan air laut pada hari sabtu – hari khusus beribadah
bagi mereka. Larangan itu didasarkan atas keyakinan bahwa perbuatan itu akan
membawa kepada mafsadah, yakni meninggalkan kewajiban beribadah pada hari
khusus ibadah mereka.
c. Hadits Nabi:
دَعمَا يُريبُكَ إلى ما لا يُرِيبُكَ
“Beralihlah
dari hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan”.
(HR. al-Nasa’I, al-Turmudzi, dan Hakim)
Kubu penolak (kontra) mengemukakan
argumentasi sebagai berikut:
a. Aplikasi Sadd dzari’ah sebagai dalil
penetapan hukum ijtihadiy, merupakan bentuk ijtihad bi ar-ra’yi yang tercela.
b. Penetapan hukum kehalalan atau
keharaman sesuatu harus didasarkan atas dalil qat’iy, tidak bisa dengan dalil
zanniy; sedangkan penetapan hukum atas dasar Sadd dzari’ah merupakan satu
bentuk penetapan hukum berdasarkan dalil zanniy.
C. Syar’u Man Qablana
1. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana adalah syariat
atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum,
seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan lain-lain. Syariat sebelum
kita adalah hukum- hukum yang berlaku umat sebelum datang risalah Nabi Muhammad
sejauh yang dapat dibaca dalam Al-Quran atau dinukilkan oleh Nabi Muhammad SAW,
karena Al-quran dan Hadits Nabi banyak berbicara tentang syariat terdahulu.
2. Macam-macam Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Syari’at yang
terdapat dalam Al-quran atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat
sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al-Quran atau hadits Nabi bahwa
yang demikian telah di nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad.
Contohnya dalam Surah al-An’am ayat 146 :
Artinya
“ Kami haramkan bagi orang- orang Yahudi setiap binatang yang punya kuku; dan
dari sapi dan kambing kami haramkan pada mereka lemaknya”.
b. Hukum- hukum
yang dijelaskan pada Al-quran dan hadis nabi yang disyariatkan untuk umat
sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat nabi Muhammad dan dinyatakan
berlaku pula untuk selanjutnya. Contohnya dalam surat al-baqarah ayant 183:
Artinya’’ Hai orang- orang yang beriman diwajibkan
atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah- mudahan
kalian menjadi orang yang bertaqwa”.
c. Hukum- hukum
yang dijelaskan dalam Al-quran dan hadits Nabi
yang berlaku untuk umat sebelum Nabi, namun secara jelas tidak
dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut
telah di-nasakh.
3. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u
Man Qablana
Para ulama
berbeda pendapat apakah syari’at sebelum kita menjadi dalil dalam penetapan
hukum bagi umat nabi Muhammad. Pendapat mereka sebagai berikut.:
a.
Jumhur ulama Hanafiyah dan Hambaliyah dan
sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah
berbendapat bahwa hukum- hukum syara’ sebelum kita dalam bentuk ketiga tersebut
tidak berlaku untuk kita (umat Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan
pemberlakuannya untuk umat nabi Muhammad. Alasanya adalah syari’at sebelum kita
itu berlaku secara khusus untuk umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum.
Lain halnya dengan syari’at yang di bawa Nabi Muhammad sebagai rasul terahir
yang berlaku secara umu dan me-naskh syariat sebelumnya.
b.
Sebagian sahabat umat hanifiyah, sebagian ulama
malikiyah, sebagian sahabat ulama syafi’iyah
mengatakan hukum- hukum yang disebutkan dalam Al-quran dan sunah Nabi meskipun
tidak diarahkan untuk umat Nabi Muhammad, selama tidak ada penjelasan tentang
nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi Muhammad. Dari sini muncul kaidah:
“Syari’at untuk
umat sebelum kita berlaku untuk syari’at kita”
D. Madzhab Shahabi
1. Pengertian Madzhab Shahabi
Madzhab Shahabi adalah pendapat
sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sebagian ulama
Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mazhab shahabi yaitu pendapat
hukum yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara
individu, tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah
Rasulullah SAW.
Sedangkan yang dimaksud dengan
sahabat Rasulullah yaitu setiap orang muslim yang hidup bergsul bersama
Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.
Misalnya Umar bin Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, dan
Ali bin Abi Thalib.
2. Pembagian Madzhab Shahabi
Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan
membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori:
a. Fatwa sahabat yang bukan merupakan
hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga
hari, dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa semacam
ini bukan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka
terima dari Rasulullah SAW. oleh karena itu, fatwa-fatwa semacam ini disepakati
menjadi landasan hukum bagi geerasi sesudahnya.
b. Fatwa sahabat yang disepakati secara
tegas di kalangan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa semacam ini
menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
c. Fatwa sahabat secara perorangan yang
tidak mengikat sahabat yang lain. Para mujtahid di kalangan sahabat memang
sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa seorang
sahahbat tidak mengikat (diikuti) sahabat yang lain.
d. Fatwa sahabat secara perorangan yang
didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad.
3. Pendapat Ulama tentang Madzhab
Shahabi
Menurut kalangan Hanafiyah, Imam
Malik Imam Syafi’I dan pendapat terkuat dari Ahmad bin Hanbal, bahwa fatwa
sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka adalah:
Firman Allah SWT:
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Ayat
tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukkan bahwa apa
yang mereka sampaikan adalah ma’ruf (kebaikan), dan oleh karena itu harus
diikuti.
Sedangkan
menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan
Syai’ah bawa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Alasan mereka
adalah:
Firman
Allah SWT dalam Q.S Al-Hasyr ayat 2:
Artinya:
“…. Maka ambillah (kejadian itu)
untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Yang dimaksud dengan “mengambil
pelajaran” dalam ayat tersebut menurut mereka adalah melakukan ijtihad. Dengan
demikian berarti ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang memilki kemampuan
untuk melakukan ijtihad. Sedangkan mengikuti pendapat sahabat berarti seorang
mujtahid bertaqlid kepada sahabat itu yang bertentangan dengan kehendak ayat
tersebut yang menyuruh mereka berijtihad.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan
atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan
pengertian istilah al-‘adah (adat istiadat). Sadd Dzari’ah diartikan sebagai
upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada
dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau
tindakan lain yang dilarang. Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran-ajaran
nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi ‘Isa, dan lain-lain. Syariat sebelum
kita adalah hukum- hukum yang berlaku umat sebelum datang risalah Nabi Muhammad
sejauh yang dapat dibaca dalam Al-Quran atau dinukilkan oleh Nabi Muhammad SAW,
karena Al-quran dan Hadits Nabi banyak berbicara tentang syariat terdahulu. Madzhab Shahabi adalah pendapat
sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak dijelaskan
secara tegas dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah.
B.
Kritik dan Saran
Kami menerima kritik dan saran dari kawan-kawan
dan semua pihak yang membaca makalah ini yang agar menjadi lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi. 2013. Perbandingan Ushul Fiqh.
Jakarta: Amzah
Effendi,
Satria. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP
https://afifatulbaroroh.wordpress.com/materi-kuliah/ushul-fiqih-2/ushul-fiqih/,
diakses pada tanggal 10 Maret 2016 pukul 19.30 WITA
0 komentar:
Posting Komentar